JEC World Glaucoma Week & Bakti Katarak 2020

  14 Mar 2020

  4,225 Views

Share

Jakarta, 14 Maret 2020 – Glaukoma masih menjadi salah satu momok penyebab utama kebutaan di seluruh dunia; tertinggi kedua setelah katarak. Nyaris tak memiliki gejala pada tahap awal, glaukoma justru berpotensi memberi impak yang lebih fatal: kebutaan permanen. Deteksi dini dan penanganan sejak fase awal menjadi faktor kunci untuk mencegah hilangnya penglihatan akibat glaukoma. Memperingati World Glaucoma Week (8-14 Maret 2020), JEC, rumah sakit spesialis mata dan eye care leader di Indonesia, menghadirkan fasilitas: JECGlaucoma Suite - layanan khusus yang komprehensif dan modern bagi pasien glaukoma, mulai tahapan edukasi dan konsultasi, diagnostik, serta tindakan medis hingga bedah, layanan ini telah tersedia di JEC @ Menteng.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI melalui laporan “Situasi Glaukoma di Indonesia” (2019)2 mengemukakan perkiraan jumlah penderita glaukoma secara global mencapai 76 juta pada 2020 – atau meningkat sekitar 25,6% dari angka satu dekade lalu yang masih 60,5 juta orang. Sementara di Indonesia, data yang sempat dirilis secara resmi barulah prevalensi glaukoma sebesar 0,46% (setiap 4 sampai 5 orang per 1.000 penduduk).3 Temuan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online turut memberi gambaran. Jumlah kunjungan glaukoma pada pasien rawat jalan mencapai 427.091 pada 2017; meningkat lebih dari 5 kali lipat dibandingkan 2015. Jumlah kasus baru glaukoma pada pasien rawat jalan di rumah sakit Indonesia sejumlah 80.548 pada 2017; naik 151,5% dari periode 2015. JEC sendiri hingga 2019 kemarin telah menangani lebih dari 42.662 pasien glaukoma selama kurun waktu 1 dekade.

“Bersifat kronis dan membutakan, glaukoma merupakan salah satu penyakit di bidang mata yang berdampak sangat besar terhadap kualitas hidup penyandangnya. Dari kecemasan bahkan depresi adanya risiko kebutaan, keterbatasan aktivitas sehari-hari karena gangguan lapang pandang, kendala fungsi sosial karena mulai menghilangnya penglihatan, hingga efek samping pengobatan, serta pengaruh finansial akibat biaya pengobatan yang dikeluarkan. Sayangnya, di Indonesia permasalahan glaukoma masih memprihatinkan lantaran penderita seringkali baru mencari pengobatan ketika sudah pada stadium lanjut. Karenanya, penatalaksanaan glaukoma sedini mungkin sangatlah krusial agar progresivitas penyakit ini dapat dikontrol dan kerusakan saraf mata bisa diperlambat sehingga kebutaan pun tercegah,” papar Prof. DR. dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K), Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dokter Subspesialis Glaukoma, dan Ketua Layanan Glaukoma JEC Eye Hospitals & Clinics.

Peningkatan tekanan pada bola mata (intraocular) menjadi faktor risiko utama penyebab glaukoma. Bola mata manusia mengandung cairan (aquos humor) yang berfungsi memberikan nutrisi organ-organ di dalamnya. Cairan ini diproduksi dan dikeluarkan dalam siklus yang seimbang sehingga tekanan intraocular tetap terjaga normal (dengan rentang 10-21 mmHg). Penderita glaukoma umumnya mengalami ketidakseimbangan daur cairan (terjadi masalah di saluran pengeluaran) yang mengakibatkan naiknya tekanan pada bola mata – di atas 21 mmHg. Apabila berlangsung terus menerus, kerusakan saraf mata tidak dapat terhindarkan yang lambat laun menyebabkan penyempitan lapang pandang hingga penderita hanya bisa melihat seolah dari lubang kunci, dan akhirnya buta total tanpa bisa disembuhkan. Mengingat gejalanya baru bisa dikeluhkan ketika glaukoma telah berada pada tahapan lanjut, glaukoma dijuluki sebagai ’si pencuri penglihatan’.

Pendeteksian seawal mungkin menjadi langkah antisipasi. Terlebih mengingat semua orang (dari segala usia) berisiko terserang glaukoma. Menilik kembali data SIRS online4, dari pasien rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit Indonesia sepanjang 2017, penderita glaukoma termuda berumur 0-6 hari(berjumlah 62 orang), dan cenderung meningkat di setiap rentang usia. Kelompok umur 44 tahun ke atas menjadi yang terbanyak dengan 61.882 penderita, atau sekitar 71,4% dari total pasien pada tahun tersebut.

Selain berusia 40 tahun ke atas, berikut beberapa faktor risiko lain yang perlu diwaspadai:

  1. Memiliki riwayat keluarga yang menderita glaukoma (9 kali lebih berpotensi);
  2. Penderita minus dan hiperopia tinggi;
  3. Pengidap penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, hipertensi, dan kelainan kardiovaskular;
  4. Pernah terkena cedera mata, serta
  5. Pengguna steroid dalam jangka panjang.

“Berlandas keahlian dan pengalaman kami sebagai sentra perawatan mata terdepan, serta pemahaman menyeluruh terhadap kondisi glaukoma di Indonesia, JEC menghadirkan JEC Glaucoma Suite yang diperkuat 11 dokter spesialis glaukoma dan tenaga medis mumpuni, teknologi terkini dan sistem pendukung unggulan, tak terkecuali hospitality nan optimal. Tak hanya layanan khusus yang komprehensif dan modern, JEC Glaucoma Suite juga memungkinkan prosedur pemeriksaan dengan journey time lebih singkat, namun tetap mengedepankan penanganan glaukoma yang andal dan berkesinambungan,” jelas Dr. Setiyo Budi Riyanto, SpM(K), Kepala Bedah Refraktif dan Direktur Utama JEC @ Menteng.

JEC Glaucoma Suite menawarkan opsi pengecekan secara komplet, mulai pemeriksaan tekanan bola mata berakurasi sangat tinggi (Goldmann Applanation Tonometry), evaluasi struktur saraf mata (Optical Coherence Tomography), pemeriksaan luas lapang pandang (Humphrey Visual Field Perimetry), pemeriksaan sudut bilik mata depan (gonioscopy), hingga pemeriksaan optic disc dan retina mata (Foto Fundus). Bagi pasien glaukoma yang memerlukan tindakan lebih lanjut, JEC Glaucoma Suite memberikan alternatif layanan operasi dengan implant dan iStent (metode bedah terbaru dengan tahapan invasif yang minim, menggunakan small titanium implant). Selain itu, untuk terapi, JEC Glaucoma Suite menyediakan obat-obatan khusus yang hanya tersedia di JEC.JEC Glaucoma Suite menawarkan paket istimewa untuk pendeteksian glaukoma seharga Rp 999.000,00 (dari harga awal Rp 2.800.000,00) – berlaku hingga 30 April 2020.

Sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan, JEC secara berkelanjutan menjalankan kegiatan Bakti Katarak berupa pemberian tindakan operasi katarak gratis kepada kalangan yang membutuhkan. “Penglihatan yang hilang akibat katarak menyebabkan turun bahkan lenyapnya produktivitas seseorang. Padahal kebutaan tersebut dapat direhabilitasi. Banyak orang yang tidak memiliki akses untuk mendapatkan tindakan yang memadai. Bakti Katarak menjadi realisasi nyata atas kepedulian JEC kepada mereka agar kembali mendapatkan penglihatan dan hidup yang produktif,” ujar Dr. Arini Safira, SpM, Ketua JEC World Glaucoma Week dan Bakti Katarak 2020.

Inisiatif Bakti Katarak ini juga menguatkan komitmen JEC untuk berkontribusi aktif membantu memberantas kebutaan di Indonesia. Selama 36 tahun kehadirannya, JEC telah secara rutin menjalankan Bakti Katarak dengan keseluruhan tindakan menjangkau lebih dari 3.000 orang dari seluruh Indonesia.

icon-doctor